Bacanya lebih enak kalo pake gambar yang ada disini biar fantasinya makin jalan hehehe
Januari 2008
“...Dan... Untuk penampilan terakhir… Juara bertahan 3 kali High School Modern Dance Competition… Everybody please welcome... Tim tuan rumah... THE FOXES!!”
Aula meledak dalam tepuk tangan. Teriakan bersemangat dan suitan riuh rendah. Lampu perlahan padam, tepuk tangan mereda. Hening, menanti.
Enam sosok berselubung jubah hitam bergerak perlahan memasuki panggung. Tepuk tangan dan seruan penonton mulai terdengar kembali. Alunan musik perlahan memenuhi ruangan. Keenam sosok tadi meliuk-liuk di atas panggung, sangat perlahan, seksi.
Tiba-tiba bunyi sirine terdengar kencang, dentuman drum menyusul setelahnya. Lima sosok di atas panggung menanggalkan jubahnya, berubah rupa menjadi lima cewek seksi dengan tank top putih dan hot pants sangat pendek. Penonton kembali meledak dalam tepuk tangan dan sorakan.
Kelima cewek itu menari, meliuk, menggeletar mengikuti hentakan musik. Lampu di atas panggung pun menari, menyinari panggung dengan berbagai macam cahaya yang berbeda. Seluruh aula menyaksikan dengan takjub. Memang kualitas tim modern dance SMU kami diatas tim-tim yang lain. Sudah 3 tahun berturut-turut The Foxes memenangi kejuaraan modern dance antar SMU se-Jakarta ini.
Aku menoleh ke sekelilingku. Ya, sudah kuduga. Sorot mata mereka menangkap kejanggalan dari penampilan The Foxes kali ini; dari enam dancer yang ada di atas panggung, lima orang sudah menari dengan sangat bersemangat, sementara 1 dancer lagi masih tetap berdiri membeku di bagian tengah panggung tanpa melepas jubah hitamnya.
Seolah menjawab rasa heran yang ada di hati penonton; musik tiba-tiba berhenti, diiringi kelima dancer yang menjatuhkan diri ke lantai panggung. Hening sesaat. Lagu “Bounce” dari Timbaland (soundtrack film Step Up 2: The Streets) tiba-tiba terdengar. Saat dentuman drum pertama terdengar, dancer keenam melempar jubahnya ke arah penonton. Cewek langsing berambut panjang hitam berkilau, dengan kulit sawo matang yang eksotis, mengenakan tank top hitam dan celana panjang baggy cargo hijau army itu mulai menari, menggerakkan tangan di atas satu-per-satu tubuh kelima temannya, dan “mengangkat” mereka seolah mereka hanyalah boneka kayu yang digerakkan dengan benang. Penonton meledak dalam sorakan dan tepuk tangan.
Aku nyengir, menggelengkan kepala. Itulah Cherry, kapten tim modern dance sekolahku dan sahabatku sejak SD. Keluarga kami sudah berteman sejak dulu; nenekku dan neneknya berteman saat masih di Semarang dulu, ibuku dan ibunya adalah teman SMU, dan kami bersahabat sejak SD. Rumah kami pun bersebelahan, jadi memang kami sangat dekat. Cherry ini cewek yang tomboy. Saat masih kecil dulu ia sering dikira cowok oleh banyak orang karena potongan rambutnya sangat pendek dan ia selalu bermain dengan cowok; entah kenapa tiba-tiba setelah masuk SMP ia mulai memanjangkan rambut dan terlihat lebih feminin.
Cherry terus menari, meliuk, popping. Ia dan kelima dancer yang lain bergerak dengan sangat harmonis sekarang, seolah menguarkan aura dari tubuh mereka. Tubuh-tubuh langsing mereka yang berkeringat berkilau tertimpa cahaya lampu. Cherry benar-benar menjadi pusat dari penampilan kali ini. Saat lagu mencapai bagian tengahnya, tiba-tiba kelima dancer yang lain membuat formasi menutupi Cherry dari pandangan, dan saat mereka bergerak membuka ternyata Cherry telah melepas celana hijaunya, menampakkan hot pants putih yang sangat seksi.
Para penonton, terutama yang cowok, bersorak dengan semangat. Aku tahu apa yang mereka perhatikan; pantat Cherry. Saat masih mengenakan celana panjang baggy cargo yang longgar saja semua orang sudah dapat melihat dengan jelas bentuk pantatnya yang sangat bulat dan montok, apalagi sekarang. Seolah mengerti keinginan penonton, Cherry bergerak maju ke arah depan panggung, membelakangi penonton dan menggetar, menggoyangkan pantatnya yang sangat seksi. Penonton menjerit tak karuan.
Aku melirik ke sebelah kananku. Tidak jauh dari tempatku berdiri, Andrew, kapten tim basket SMU kami, sedang didorong dan disenggol oleh beberapa temannya sambil bercanda.
“Cewek lu tuh, Dru!” teriak salah seorang cowok.
“Gila seksi abis!”
“Iyalah... Cewek gue! Heh! Udah jangan melototin pantatnya terus!”
Salah seorang sahabat Andrew berusaha memelankan suaranya, tapi aku masih bisa mendengarnya berbicara.
“Udah pernah lu anal belon?” tanyanya. Andrew terlihat agak kecewa.
“Belon, bro... Dia ga mau gue anal... Susah lah...” jawab Andrew dengan suara pelan.
“Yah... Iya sih... Kebanyakan cewek pada ga mau dianal ya...”
“Iya... Sayang, padahal pantatnya kayak gitu...”
Aku tersenyum. Ga mau dianal? Kataku dalam hati. Siapa bilang!
* * *
November 2002
“Oke, Dit! Kamu masuk, gantiin si Steven!”
“Ya, Pak!”
Aku bangkit dari tempat duduk pemain cadangan, mengencangkan tali sepatuku. Ini pertandingan pertamaku di tim sepak bola SMP. Setelah menunggu cukup lama di bangku cadangan dan bermain di tim B, akhirnya saatnya tiba untuk aku masuk dan menunjukkan kemampuanku di tim A.
Cherry, yang saat itu bertugas sebagai official pertandingan, mengangkat papan pergantian pemain. Nomor 7 keluar, nomor 13 masuk. Aku berdiri di sebelah Cherry, jantungku berdegup kencang. Pertandingan pertama, akhirnya!
Steven melangkah perlahan ke pinggir lapangan, diiringi tepuk tangan penonton. Ini hanya pertandingan persahabatan dengan SMP tetangga. Kami sudah unggul 3-1, dan pertandingan sudah hampir berakhir, sehingga pelatih melakukan penggantian pemain untuk mengulur waktu dengan memasukkanku yang masih kelas 1. Walaupun begitu, aku tak akan menyia-nyiakan kesempatan ini!
“Ciee... Pertandingan pertama...” bisik Cherry, masih mengangkat papan itu. Aku tersenyum.
“Jangan tegang ya, Dit! Gue tau lu jago...” katanya lagi.
“Sip... Doain ya...” kataku. Steven, kelas 3, menghampiriku, menepuk tanganku.
“Gud luck, man...” katanya. Aku mengangguk.
Tepat sebelum berlari memasukki lapangan, tanpa sepengetahuan semua orang lain, tangan kiriku iseng meremas pantat Cherry. Cherry berjengit kaget, berusaha menggapai lenganku untuk dicubitnya, tapi aku buru-buru lari sekencang-kencangnya ke posku sebagai gelandang kanan.
Aku menoleh ke arahnya di pinggir lapangan. Muka Cherry merona merah. Mulutnya membentuk cengiran antara kesal dan geli. Ia menjulurkan lidah padaku. Aku nyengir, membalas menjulurkan lidahku.
Sudah berapa lama ini kami sering bercanda seperti itu. Sejak tanpa sengaja aku menepuk pantatnya saat akhir kelas 6 SD yang lalu, aku selalu berusaha mencari kesempatan untuk merasakan keempukkan pantatnya. Entah kenapa, sensasi empuk dan padat pantat Cherry tak pernah bisa hilang dari pikiranku sejak hari itu. Cherry selalu jengkel dan berusaha menghindar dari tepukan atau remasan tanganku di pantatnya, tapi kalau aku berhasil, ia tak akan menolak.
Jeffrey mengoper bola pada Satria. Satria menerimanya, mengontrol bola sebentar dengan kaki kanannya, kemudian berlari kencang menerobos bagian tengah lapangan. Dua pemain bertahan lawan datang menghadang. Ia terpojok. Tapi saat itulah peluangku datang.
“Sat!” teriakku. Satria menoleh sekilas, kemudian menyodorkan umpan ke arahku. Bek lawan terkejut karena menyadari aku bebas dari penjagaan. Aku berlari sepanjang sayap kanan lapangan, dikejar oleh bek kiri dan bek tengah musuh. Saat mereka hampir menyentuhku, aku sudah melepaskan umpan silang ke arah kotak penalti.
Satria dan kiper lawan sama-sama meloncat, menggapai bola. Satria lebih tinggi, menyambut bola dengan kepalanya. Sundulan terukur ke arah gawang yang kosong...
* * *
“Duuh... Yang dipuji pelatih...”
“Hahaha diem deh!”
Kami sedang berjalan ke arah gudang olahraga untuk mengembalikan bola dan perlengkapan pertandingan yang lain. Hari sudah sore, sekitar pukul 5. Sekolah sudah sepi. Hari ini memang giliranku yang beres-beres perlengkapan, dan Cherry membantuku. Pelatih meminjamkan kunci gudang olahraga dan memintaku menyimpannya dulu malam ini karena ia harus buru-buru pulang.
Akhirnya kami menang 4-1 di pertandingan persahabatan tadi. Seusai pertandingan, pelatih secara khusus memuji umpan silangku yang membuahkan gol keempat tadi. Aku cukup bangga; pertandingan pertamaku berlangsung sukses. Tapi rupanya pujian dari pelatih tadi menjadi bahan bagi Cherry untuk menggodaku.
“Keren loh tadi...” kata Cherry sungguh-sungguh.
“Iya, iya... Thank you... Udah donk jangan digodain terus...” kataku.
“Hahaha... Siapa yang godain sih? Emang keren tau!” katanya lagi.
“Iya iya...”
Kami sampai di gudang olahraga. Aku meletakkan keranjang bola di lantai dan membuka kunci pintu. Gudang ini cukup besar, salah satu yang paling besar di sekolahku. Kami masuk, menutup pintu, dan mulai meletakkan jaring gawang, bola-bola, serta rompi-rompi latihan di tempatnya masing-masing.
“Eh, rompi tempatnya di atas ya?” tanya Cherry, sambil mendongak.
“Ya. Di rak nomer tiga itu... Duh susah amat sih ditaruhnya di situ...” kataku.
“Gapapa... Biar gue yang taro di sana,” jawabnya. Ia mulai memanjat kotak-kotak yang ada di lantai dan menggapai rak nomor tiga. Aku memperhatikannya, dan saat itu mataku terantuk pada pantatnya. Sejak kecil pantat Cherry memang sudah sangat bulat dan lebih tebal dari pantat cewek-cewek lain seusianya.
Aku nyengir saat melihat kesempatan besar itu. Aku berjingkat perlahan ke belakangnya. Cherry tidak memperhatikanku, masih berusaha meletakkan rompi-rompi latihan itu.
“Bisa?” tanyaku, mengalihkan perhatiannya.
“Bi... Sa... Sih... Tunggu...” kata Cherry, berkonsentrasi penuh pada rompi.
Saat itu aku meremas kencang-kencang pantatnya yang montok dengan kedua tanganku. Cherry yang terkejut kehilangan keseimbangan, terpeleset. Aku pun terkejut dengan reaksinya yang mendadak itu, sehingga tak sempat menghindari tabrakan. Kami jatuh terjerembap ke lantai gudang olah raga, diikuti setumpuk rompi dan kardus kosong.
“Aduuuhhh!!! BEEGOOO!!! Ngapain sih lu tau-tau ngeremet pantat gue gituu!!??” raung Cherry kesal.
“So... Sory... Gue ga nyangka lu bakal reaksinya sampe heboh gitu...” kataku membela diri.
“Iiihhh... Nyebelin banget tau nggak! Sekarang musti ngeberesin lagi semua kan!” katanya, masih kesal.
“Iya... Iya... Sory...”
Aku membantunya berdiri. Lutut Cherry memar menghantam lantai, sementara siku lengan kananku juga memar. Sesaat sepertinya Cherry sudah akan mulai mengomeliku, tapi saat berikutnya ia menghela napas, dan mulai memberesi rompi dan kardus yang berserakan di lantai. Kali ini aku membantunya, merasa bersalah.
“Kenapa sih lu demen banget sama pantat gue?” tanya Cherry setelah diam beberapa lama.
“Heh?” aku terkejut ditanya seperti itu. “Eh... Ya... Abisnya...”
“Apa?”
“Ya kan empuk...” jawabku, bingung.
“Iiih... Nyebelin!!” ujarnya sewot. Tapi aku menangkap nada geli dalam suaranya. “Udah? Empuk doank? Kalo empuk doank mah remet aja tuh bantal lebih empuk...”
“Ya nggak lah... Padet juga...” kataku, lebih berani. “Montok...”
“Iih... Terus?”
“...Apa lagi? Kenyal... Gede... Seksi...”
“Iihh...”
Muka Cherry merona merah. Sekilas aku melihat senyum malu di bibirnya yang tipis.
“Sama cewek yang di video lebih seksi mana?” tanyanya tiba-tiba.
Aku terkejut. Beberapa malam sebelumnya kami bermain internet di kamarku. Ketika itu kami iseng-iseng membuka situs bokep, dan tanpa sengaja kami menemukan cuplikan video anal sex. Kami benar-benar terpaku menonton video itu, dan saat video itu selesai, hal pertama yang ada di pikiranku adalah pantat Cherry. Cherry pun sepertinya tak dapat menghilangkan adegan itu dari benaknya. Sejak itu kami cukup sering membahas tentang anal sex, dan tanpa sepengetahuannya, aku membayangkan diriku meng-anal Cherry, bahkan sampai terbawa ke mimpi basah!
“Eh... Eh...” aku tak tahu harus menjawab apa. Cherry terlihat serius.
“Eh... Ya... Gatau deh...” jawabku, bingung.
“Oh... Oke...”
Hening. Ada rasa canggung dan aneh yang menyelimuti diriku. Jantungku berdegup kencang. Bayangan tentang diriku meng-anal Cherry kembali muncul, lebih jelas dari hari-hari sebelumnya.
“Eh... Lu... Lu suka kebayang video itu ga?” tanya Cherry.
“I... Iya lah...” jawabku. “Kenapa?”
“... Lu... Kebayang ngelakuin itu?”
“HeeH? Cher... Koq nanya gitu?” kataku. Panik.
“Dit... Serius... Lu kebayang ngelakuin itu...” katanya lagi. “...Itu... Anal?”
“Eh... Iyalah... Ya... Iya...” jawabku gelagapan.
“Kebayangnya sama siapa?”
Aku benar-benar panik sekarang. Rasanya seperti ketahuan berbohong di depan orang tua. Jantungku berdegup tak karuan. Aku tak mungkin menjawab jujur!
Saat aku masih bingung, tiba-tiba Cherry menjawab semuanya.
“Karena sejak malem itu gue kebayang terus di-anal sama lu...”
Aku kaget bercampur lega. Jadi Cherry juga membayangkan apa yang aku bayangkan! Aduh... Ini gila...
“Eh... Serius lu?” tanyaku. Cherry mengangguk. Mukanya merah padam sekarang.
“Sampe kebawa mimpi...” katanya pelan.
Aku bingung. Saat itu, entah kenapa, aku merasakan celana pendekku mulai sempit. Penisku menegang. Bayangan adegan analku dengan Cherry semakin jelas, mengaburkan pandanganku.
“Eh... Gue... Gue juga tau...” kataku akhirnya. “Kebayang anal sama lu terus...”
“Iya?” tanya Cherry. Nadanya bersemangat. “Serius?”
“Ya... Eh...” kataku, agak malu. “Sampe kebawa mimpi juga...”
“Lu... Eh... Kebayangnya gimana?”
“Ya gitu... Dari belakang...” kataku. Keberanianku mulai kembali.
“Sampe keluar? Kayak yang di film?”
“Iyalah...”
“Oh...”
Kami terdiam lagi. Tak tahu harus melanjutkan ke mana.
“Eh... Ayo beresin... Udah sore loh...” kataku canggung. Aku mulai membungkuk dan memasukkan rompi ke dalam kardus lagi saat tiba-tiba Cherry memelukku dari belakang.
“Ch... Cher?” tanyaku kaget.
“... Dit...” bisiknya. Suaranya bergetar. “... Dit gue pengen...”
“... Pengen apa?” tanyaku. Aku sudah tahu jawabannya bahkan sebelum bertanya.
“... Anal...”
Penisku tegang sekuat-kuatnya. Sakit rasanya terjepit di dalam celana dalam dan celana pendek SMP yang kaku.
“... Mau nggak lu anal-in gue?”
“Eh... Cher! Gila ah... Itu kan cuma film... Jangan lah,” kataku, menyangkal diriku sendiri.
“Tapi gue pengen... Gue ga bisa ngilangin bayangan lu lagi nusuk-nusuk pantat gue...” katanya. Suaranya terdengar merana. Aku tahu rasanya terus terbayang-bayang sesuatu yang tak dapat hilang.
“...Iya... Iya gue juga kebayang-bayang sih...”
“Iya kaan!! Ayo donk, Dit... Pliss...” pintanya.
Ini gila. Sahabatku memintaku untuk meng-analnya. Cherry sudah terdengar seperti orang yang sangat horny sekarang, dan jujur, aku pun sudah berhari-hari onani sambil membayangkan penisku menghujam pantatnya yang seksi itu.
“Eh... Dari pantat ga bisa hamil ‘kan?” tanyaku.
“Ya nggak lah...” katanya, masih memelukku. “Lagian gue belon dapet... Tenang aja...”
Aku berbalik, menatap matanya.
“Lu bener-bener yakin?”
Tak menjawab, Cherry membuka retsleting rok biru SMPnya, dan menjatuhkannya ke lantai, menampakkan pahanya yang mulus dan celana dalam putihnya.
Aku bingung harus mulai dari mana.
“Eh... Yang... Di film itu kan...”
“Dari ciuman pertamanya...” kata Cherry.
“Ya...”
Kami bergerak perlahan, saling mendekat. Cherry mengalungkan tangannya di leherku dengan kaku, aku memegang pinggangnya yang langsing dengan canggung. Sesama pemula.
Aku melepas kacamataku dan mendekatkan wajahku ke arah wajahnya. Cherry memejamkan mata, menunggu. Dengan gemetar, aku menggerakkan wajahku semakin dekat ke wajahnya. Perlahan, bibir kami bersentuhan. Sensasi dingin aneh menjalar di tubuhku saat kami berciuman untuk pertama kalinya. Aku menggerakkan bibirku perlahan, menarik bibir bawahnya. Cherry membalas ciumanku.
Kami berciuman dengan sangat kaku untuk beberapa lama, tapi setelah beberapa saat, ketegangan mulai mencair. Aku mulai menyadari bahwa bibir atas Cherry lebih tebal dari bibir bawahnya, sehingga aku mulai melumat bibir atasnya dengan nikmat. Cherry mengikuti gerakan bibirku. Ciuman kami semakin panas, pelukan kami semakin erat. Perlahan, tanganku bergeser turun, meremas-remas pantatnya yang montok dan padat. Penisku sudah tegang sekali sekarang. Belum pernah aku meremas pantat Cherry sebebas ini.
“Mmh... Masuk aja tangannya, Dit...” katanya, melepas ciuman kami.
Aku menurut, kumasukkan tanganku ke dalam celana dalamnya. Kulit pantat Cherry mulus sekali. Aku meremas-remas pantatnya dengan nafsu. Empuk dan penuh sekali rasanya.
Cherry bergerak, mencium leherku. Aku merasa seperti disetrum aliran listrik. Kami merosot ke lantai, berbaring. Cherry di atasku. Kami kembali berciuman. Aku menjulurkan lidah ke dalam mulutnya, yang seketika itu juga langsung dibelit oleh lidahnya. Nafas kami semakin cepat. Decak lidah kami memenuhi gudang olahraga sore itu, seksi sekali.
Aku melepaskan ciuman. Benang ludah tipis menjuntai menghubungkan mulut kami. Nafas kami terengah. Cherry menatap mataku dalam-dalam dengan matanya yang sipit. Ia tersenyum, dan saat itu untuk pertama kalinya aku menyadari bahwa Cherry adalah gadis yang sangat manis.
“Lu cantik, Cher...” pujiku, jujur. Cherry nyengir. Aku juga baru menyadari bahwa giginya sangat rapi.
“Thank you...” bisiknya. Pipinya merona merah. Ia menunduk, mengangkat bagian bawah kaosku. Cherry membantuku membuka kaosku. Kami bertatapan lama sekali, kemudian mulai berciuman lagi. Kali ini lebih luwes dan dahsyat dari sebelumnya. Tanganku meremas pantatnya yang montok. Semakin kuremas, penisku serasa semakin tegang.
Kami melepas ciuman lagi. Cherry bangkit, menarik salah satu matras olahraga, meletakkannya di lantai, dan berbaring di situ. Aku bergerak, menindihnya dengan lembut. Cherry nyengir.
“Lu berat...” katanya sambil mencium pipiku.
“Heeh? Lu gue bilang cantik, lu bilang gue berat?” kataku, menggodanya. Cherry tertawa.
“Tapi enak koq, yang...” bisiknya lembut. Jantungku serasa berhenti berdetak tadi saat ia memanggilku ‘yang’... Entah kenapa. Aku menciumi lehernya perlahan. Cherry memejamkan mata, menikmati.
“Sshh... Oohh... Dit... Mmhh...” desahnya.
Aku membuka kemeja putih seragam SMPnya perlahan-lahan. Cherry masih mengenakan miniset, dan toketnya masih hanya berupa tonjolan kecil di dadanya, tapi itu tak mengurangi nafsuku. Kubuka minisetnya perlahan, melemparnya ke sisi ruangan. Kugulingkan Cherry ke sebelahku, kemudian kutindih dia lembut. Kujilat putingnya yang berwarna pink sangat muda. Cherry mengejang, mendesah nikmat.
“Mmh... Ditt...” bisiknya.
Cherry menarik celana pendekku hingga terbuka. Penisku yang sudah sangat tegang telah menyembul keluar dari celana dalamku. Cherry mengelusnya perlahan, enak sekali. Kami berciuman lagi. Tanganku kembali merogoh ke dalam celana dalamnya. Iseng, aku menggosokkan jari tengahku di belahan pantatnya. Cherry mengejang.
“Mmhh!!” desahnya. “Aahh... Dit... Gituin lagi...”
Aku menggosok-gosokkan jari tengahku di belahan pantatnya. Cherry terlihat sangat keenakan sekarang. Ia menciumku semakin dahsyat, membelit-belit lidahku. Tangannya mencengkeram rambutku. Aku semakin berani menggerakkan jemariku. Iseng lagi, aku berusaha menusukkan jari telunjukku ke dalam anusnya. Cherry mengejang lagi.
“Aaaahh!! Dit! Yes! YES DIT GITUIN! MASUKIN!” jeritnya. Cherry sepertinya sudah dikuasai nafsu. Perlahan, aku memasukkan telunjukku ke dalam anusnya. Sulit sekali.
“Aahh... Aaahhh!!” desah Cherry. Telunjukku akhirnya berhasil masuk, perlahan, aku mendorongnya semakin jauh ke dalam hingga masuk seluruhnya.
“Ooh... Ooh Dit... Nnhh...” desah Cherry tak karuan.
Aku memainkan jari telunjukku di dalam anusnya. Menarik, menusukkannya lagi, menariknya lagi, kemudian memasukkannya. Aku bahkan memutar-mutarnya perlahan di dalam anusnya. Tubuh Cherry bergetar hebat. Nafasnya memburu.
“Aaahh... AAAHHHH!!!!!” jeritnya tiba-tiba. Tanganku seperti disiram cairan dingin tiba-tiba. Cepat-cepat aku menarik tanganku keluar.
“Eh? Lu kencing?” tanyaku kaget.
“Aah... Hhh... Nggak... Nggak tau... Enak banget.... Ooh....” jawabnya tak karuan. Saat itu aku belum tahu apa itu squirting, sehingga kupikir Cherry baru saja mengencingi tanganku.
“Cher... Langsung aja ya?” ajakku. Aku tak mau tanganku dikencingi lagi. Cherry mengangguk, menelungkup di atas matras. Aku berdiri, bersiap di belakangnya. Cherry mengangkat pinggulnya, nungging ke arahku.
Aku jongkok, perlahan melepaskan celana dalam putihnya. Pantatnya yang bulat dan seksi sepenuhnya terpampang di depanku sekarang, juga vaginanya yang tak berbulu, yang sudah sangat basah.
Aku mengarahkan penisku ke anusnya. Aku gugup sekali. Belum pernah aku melakukan ini sebelumnya. Referensiku hanya film-film dan gambar-gambar bokep yang aku lihat sebelum ini.
“Eh, Cher... Lu... Lu yakin mau gue anal?” tanyaku, takut.
Cherry terdiam sesaat sebelum menjawab, dengan suara yang cukup mantap, “Ya.”
Aku menggerakkan penisku yang sangat tegang ke arah anusnya. Perlahan, kutempatkan kepala penisku di belahan pantatnya. Cherry mulai mengejang. Perlahan, sangat perlahan, aku menekankan kepala penisku ke anusnya. Cherry memejamkan mata, meringis. Aku menekankan penisku semakin kuat. Susah sekali.
“Ssshhh... D... Dit... Mmmhh...”
Aku menekankan penisku dengan tenaga yang lebih besar, sekuat tenaga. Tiba-tiba, kepala penisku masuk menembus anus Cherry. Keras sekali.
“AAAHHH... AAAAaaaaAAHHH!!!! AAAHH!!!” Cherry menjerit-jerit. Aku kaget, cepat-cepat menarik lepas kepala penisku dari anusnya. Wajah Cherry merah padam, tubuhnya gemetar hebat.
“Cher... Cher sorry... Sa... Sakit? Lu gapapa?” tanyaku panik. Aku takut sekali.
Cherry tak menjawab. Ia berusaha mengatur nafasnya. Tubuhnya gemetar.
“Ga...” jawabnya. Suaranya bergetar. “Gapapa... Lanjutin...”
“Be... Bener? Sory Cher...”
“Gapapa... Mmh... Be... ner... Mmmhh... Masukin... Lagi...”
Aku sangat takut, tapi nafsu pun telah menguasaiku. Tadi rasanya kepala penisku seperti disedot sangat kuat ke dalam pantatnya. Enak sekali rasanya. Aku memainkan penisku di belahan pantatnya yang empuk dan kenyal. Nafas Cherry menjadi bertambah cepat lagi.
“Masukin, yang...” desahnya. Getaran itu kembali menyerangku.
Kumasukkan perlahan kepala penisku ke dalam anusnya yang sangat merah. Lebih mudah sekarang. Perlahan-lahan kutusukkan penisku semakin ke dalam.
“Nnnhhhh... YESS!!! YES DIT! Masukiin...” desahnya tak karuan.
Aku menjadi semakin berani. Tanpa aba-aba, aku menghujamkan penisku kuat-kuat ke dalam anusnya. Tiba-tiba aku merasa seperti penisku disedot dan dijepit kuat-kuat ke dalam pantatnya.
“Oohhh... OOH Cherr... Cher... Enak banget!” kataku keenakan. Cherry tersenyum. Wajahnya masih merah padam. Ia menggerakkan pinggulnya perlahan-lahan. Mengerti maksud Cherry, aku pun mulai menarik penisku dari anusnya perlahan-lahan. Detik berikutnya aku menghujamkan kembali kuat-kuat penisku ke dalam anusnya. Tarik, masukkan lagi, tarik, masukkan lagi, begitu terus, semakin lama semakin cepat. Pandanganku semakin kabur. Kenikmatan menjalar, membelit seluruh tubuhku.
“Aaaahh... Aaahhh... Aaa... Mmmhh... Dit... Diii...TT!!” Cherry mendesah-desah keenakan.
Aku menghujamkan penisku semakin cepat. Entah kenapa setiap kali aku menusukkan penisku, seolah-olah pantatnya menyedot penisku semakin kuat. Aku tahu aku tak akan dapat bertahan lama seperti ini terus.
“Cher.. Cherr... Pantat lu... Ooohh.. Koq... Koq kayak nyedot gue...”
“Ga... Gatau... Aaahhhh... Lu... Mmmhhh... Lu enak bangett... Aaahhh... Tambah kenceng lagi, yang...” pintanya.
Aku memejamkan mata. Sensasi ketat dan kuatnya sedotan bagian dalam anus Cherry yang membungkus penisku, dipadu dengan empuk dan lembutnya daging pantatnya yang besar yang menghantam-hantam pinggangku sungguh tak dapat kulukiskan dengan kata-kata. Aku tak tahan lagi.
“Chhheeerr... Cherry... Gue... Gue mau... Ooohh... Gue mau kelu...arr...” kataku terbata-bata.
“Keluarin di.... Aaahh... Aaahhh... Mmmmhhh... Nnnhh... Di... Daleem...mmmhh!!” ujarnya tak karuan. Air liurnya menetes dari mulutnya, tampak kacau sekali. Cherry mengencangkan jepitan pantatnya lebih kuat lagi.
“Dit... Ja... Aaahh... Jangan keluar dulu... Aaahhh... Mau... Mau keluar... Juuga... Aaahhh...”
“Ga bisa... Ga bisa Cheeer... Cher... Aaahhh... AAHHH... CHER.... CCHHEERRYY!!!!”
Crroottt... Crroott... Cruooottttt!! Aku meledakkan spermaku berkali-kali di dalam anus Cherry. Pandanganku kabur sama sekali. Sensasi orgasme di dalam tubuh cewek yang sesungguhnya sungguh berbeda dengan orgasme saat onani. Penisku seolah tak mau berhenti meledakkan sperma. Tak sampai dua detik kemudian, Cherry menjerit dan squirting sekuat-kuatnya.
“OOOOHHHH!!!!! DDIIII.....TTTT!!!!”
Tubuhnya terkulai lemas di matras. Aku menarik lepas penisku dari dalam anus Cherry. Anusnya terlalu sempit untuk menampung ledakkan spermaku di dalam sana, sehingga cairan putih kental itu mengalir keluar dari anusnya, melumuri pantatnya yang bulat dan seksi, mengalir melalui pahanya yang mulus dan melumuri matras tempat kami berbaring, bercampur dengan cairan vaginanya yang meledak dari dalam dirinya sendiri.
Aku roboh di sebelah Cherry, terengah-engah. Tubuh kurus Cherry tergeletak lemas, gemetar hebat. Keringat membanjiri tubuh kami.
“Oh... Ooohh... Ditt... Diitt...” desahnya terputus-putus. Aku tak dapat menjawab. Tubuhku pun gemetar. Cherry tampak kedinginan. Aku menoleh, menatap wajahnya. Ia beringsut perlahan mendekatiku, mengecup bibirku lembut.
“Thank you...” bisiknya. Aku mengangguk. Tanganku bergerak, gemetar, mengelus rambut pendeknya.
“Enak banget...” kataku. Cherry tersenyum.
“Kapan-kapan lagi, yuk?” bisiknya. Aku nyengir, mengangguk setuju.
Kami terdiam. Menikmati desah nafas kami. Aku melirik arlojiku, setengah tujuh malam. Aku memeluk Cherry erat. Ia mendekat padaku, menatap mataku dalam-dalam.
“I love you, Cher...” aku berkata lebih dulu kali ini. Mukanya kembali meronah merah padam. Senyum lemah mengembang di wajahnya yang bersimbah keringat.
“I... Love you too...” bisiknya.
* * *
Sejak hari itu, kami hampir setiap hari melakukan anal. Dan tentunya, tak butuh waktu lama bagi kami untuk mulai ML “dari tempat yang tepat”, dan mulai mencoba berbagai macam teknik lainnya. Kami pun sempat berpacaran selama beberapa lama, namun entah kenapa kami menyadari bahwa kami lebih cocok menjadi sahabat dari pada sepasang kekasih.
Kami sangat sering ML, dan anal sex menjadi favorit Cherry. Setiap kami ML, ia selalu memintaku untuk meng-analnya. Kami bertumbuh besar bersama. Cherry tumbuh semakin feminim; rambutnya semakin panjang dan indah, kulitnya menjadi sawo matang, mulus dan eksotis. Cherry sungguh-sungguh menjaga bentuk tubuhnya agar tetap langsing ideal, dan tentu saja, pantatnya dari hari ke hari menjadi semakin besar dan bulat (saat aku menulis cerita ini, ukuran pahanya 40, dan sebagian besarnya adalah pantat) semakin empuk, padat, kenyal, dan anehnya, tetap sempit walaupun sangat sering kemasukkan penisku.
Pada awalnya kami tak memperhatikannya, tapi lama-kelamaan, Cherry menjadi penasaran karena cewek-cewek lain yang sering anal, anusnya menjadi semakin longgar. Akhirnya akhir tahun lalu kami mencoba untuk datang ke dokter untuk mengetahui secara pasti. Setelah serangkaian tes dan pemeriksaan, akhirnya dokter berkesimpulan bahwa Cherry memang memiliki kelainan di anusnya. Dinding anus Cherry memang sangat lentur, tidak seperti dinding anus orang-orang lainnya. Kelenturan anus Cherry hampir menyamai kelenturan vaginanya, sehingga Cherry seolah memiliki 2 vagina. Selain itu di sekitar anus Cherry terdapat banyak saraf yang sangat sensitif. Saat itulah baru aku mengerti kenapa Cherry sangat mudah terangsang ketika aku menggosok-gosok anusnya. Kami bertanya apakah ini akan mempengaruhi kesehatan Cherry, dan untungnya dokter berkata tidak ada efek apa-apa dari dinding anus Cherry yang lentur ini.
* * *
Musik berhenti. Sekali lagi, aula meledak dalam tepuk tangan. Keenam dancer di atas panggung mengakhiri penampilan mereka yang menakjubkan. Aku tersadar dari lamunanku, menatap Cherry yang berdiri di tengah. Tubuhnya berkeringat. Sorot matanya menyinarkan kepuasan karena penampilan tim dancernya yang luar biasa.
Penonton berangsur pergi meninggalkan aula. Masih dua jam lagi sampai pengumuman juara dilakukan. Aku menoleh ke arah Andrew. Cherry telah ada bersamanya, ngobrol seru tentang penampilannya. Tangan Andrew sembunyi-sembunyi meremas pantat ceweknya yang montok. Cherry hanya mengernyit kecil. Sesaat, mataku dan mata Cherry bertatapan. Aku mengangguk pelan, mengacungkan kedua jempolku dan tersenyum pada sahabatku. Ia tersenyum cerah, mengucapkan terima kasih tanpa suara kepadaku.
Aku berbalik, hendak pergi meninggalkan aula, ketika tiba-tiba handphoneku bergetar di kantong celanaku. Kuambil dan kulihat, sebuah SMS masuk. Dari Cherry...
Ntar mlm di rmh lu?
Singkat. Aku menoleh ke arahnya. Cherry dan Andrew telah berjalan ke arah yang berlawanan arah denganku, tapi sekilas aku melihat Cherry mengerling dan mengedip ke arahku di balik rambut hitam panjangnya.
Aku tersenyum. Membayangkan apa yang akan kami lakukan di rumahku nanti malam sudah membuat celana panjangku terasa sempit di bagian tengah.
* * *
“Ooohhh YES! YES DIT! Harder!! Aaahhh...!!”
“Mmmhhh... Cherr... Mmmhhh...”
Malam itu, kami ML dengan sangat panas. Setelah menghabisi vaginanya, seperti biasa aku meng-anal pantat sahabatku yang luar biasa ini. The Foxes kembali menjuarai Modern Dance Competition, dan Cherry benar-benar mengeluarkan seluruh teknik terbaiknya malam ini untuk merayakan kemenangan timnya denganku.
“Cc...Cheer... Enak bangeet....”
“Aaahhh... Aahh.. Lu... Lu jug...aa...Hhhh...”
Sambil menghujam-hujamkan penisku ke dalam anusnya, pikiran tentang apa yang kudengar tadi siang kembali muncul di ingatanku.
“Cher... Cheer... Nnnhh...” panggilku sambil meremas dadanya dan memainkan putingnya dengan jemariku (ukurannya 34B sekarang, lumayanlah...).
“Hmmm? Aaahhh... Aaahhh... Dah... Dah mau... K...Kuar lagi? Aahh...” desahnya.
“Nggak... Aaahh... Cuma... Pengen nanya... Aah... Kenapa lu ga mau... Nnhh... Ga mau di anal sama... Nnhh... Andrew?” tanyaku, langsung ke sasaran.
Cherry tertawa sambil tetap mendesah. Aneh kedengarannya.
“Karena... Mmmhhh... Oohh... Oohh... Dit gue mau... Kelu...AARRR!!!!!” Cherry tiba-tiba menjerit dan squirting kuat-kuat. Aku belum puas, terus menghujamkan penisku ke dalam anusnya. Bunyi pantatnya yang menepuk-nepuk pinggangku menggema di kamarku yang dingin. Aku berganti meremas-remas pantatnya. Sensasi empuk dan padat yang selalu membuatku kangen dengannya.
“Karena apa... Mmmhhh....” tanyaku.
“Karena... Aahhh... Karena pantat gue... Nnnnhh.... Pantat gue...”
“Pantat lu? Mmmhhh....”
“Sebelon gue menikah... Pantat gue... Nnhhh... Aahhh... Cuma... Cuma boleh... Aaahhh...”
“Aahh... Cuma boleh... Apa... Cher?”
“Cuma... Nnnhhh... Cuma punya lu... Yang... “
Sebelum sempat ia mengatakan jawaban itu, aku sudah tak tahan lagi. Aku meledakkan spermaku sekuat-kuatnya ke dalam anusnya yang sangat sempit. Penisku menyemprot berkali-kali sebelum akhirnya berhenti. Ngilu rasanya.
Aku menarik lepas penisku, berguling ke sisi tubuh Cherry yang tertelungkup di atas ranjang. Ia menatap mataku, seperti berpikir. Aku kembali menanyakan pertanyaan yang tadi belum selesai dijawabnya.
“Sebelum lu menikah, pantat lu cuma boleh apa tadi?”
“Sebelum gue menikah...” jawabnya.
“... Iya?”
“Cuma punya lu yang boleh masuk ke dalem pantat gue...”
Jawaban itu sungguh tak pernah kuduga.